Thursday, December 23, 2010

perpustakaan generasi kedua

Oleh: Agus M. Irkham
Ada anomali! Ketika pemerintah
menyatakan angka melek aksara
lebih dari 90 persen, pada saat yang
sama minat masyarakat berkunjung
ke perpustakaan masih rendah.
Berdasarkan hasil jajak pendapat
tentang minat baca yang pernah
dilakukan Kompas (14/2/2009) dari
total responden yang dicuplik secara
sistematis di beberapa kota besar
seperti Kota Semarang, Solo,
Purwokerto, dan Tegal: 75,5 persen
mengaku tidak pernah berkunjung
ke perpustakaan dalam sebulan
terakhir.
Rendahnya intensitas kunjungan ke
perpustakaan tersebut bisa menjadi
ukuran rendahnya pula tingkat
minat baca. Mengapa perpustakaan?
Karena di tempat inilah para
pendaras buku berkumpul. Mereka
pergi ke perpustakaan dengan
sengaja, bukannya iseng. Ramainya
jumlah pengujung dapat dibaca
sebagai tingginya minat baca.
Sebaliknya jika jumlah pengunjung
dan peminjam buku bisa dihitung
dengan jari, maka itu artinya minat
baca masyarakat masih rendah.
Pertanyaannya, faktor-faktor apakah
yang membuat orang enggan
datang ke perpustakaan? Benarkah
semata-mata karena memang tidak
mempunyai minat baca? Atau
karena faktor lain? Misalnya karena
akses ke lokasi yang sulit,
kenyamanan ruang baca, sikap para
staf/pustakawannya, varian layanan
yang diberikan, serta sistem sirkulasi
(meminjam dan mengembalikan)
yang tidak memudahkan.
Dari beberapa temuan di lapangan,
keengganan datang ke perpustakaan
(terutama perpustakaan daerah/milik
pemerintah) ternyata lebih banyak
disebabkan oleh sikap para staf dan
pustakawannya yang kurang
bersahabat. Rata-rata mereka
bermuka masam, jutek, saat
melayani pengunjung tidak
menunjukkan antusiasme yang
tinggi, cenderung malas-malasan,
dan sesama staf sering terlihat
menggerombol di pojok ruang—
ngrumpi. Sudah begitu ketika
ditanya tentang suatu buku yang
hendak dicari/dibutuhkan, jawaban
yang seringkali muncul: silahkan cari
sendiri!
Tentu saja sikap demikian sangat
tidak menguntungkan bagi upaya
mengkampanyekan kegemaran
membaca. Pustakawan sebagai
orang yang senantiasa berlekatan
dengan media baca, seperti buku
dan media teks lainnya justru
menampakkan diri sebagai pribadi
yang tidak menyenangkan. Sebuah
promosi negatif, jika tidak mau
disebut menggembosi ikhtiar
menggenjot minat baca
masyarakat.
Ibarat perusahaan, buku adalah
produk yang akan dijual, dan
pustakawan menjadi pemasarnya
(marketers). Dalam proses
memasarkan itu, pembawaan diri,
sikap, perilaku (attitude) para
marketers menjadi faktor kunci
yang menentukan keberhasilan.
Oleh karenanya membangun
kompetensi perilaku atau sikap
(behaviour competence) bagi tiap-
tiap pustakawan, dalam konteks
mengefektifkan perpustakaan
sebagai pusat gerai adab sekaligus
untuk menghilangkan anomali
melek aksara, menjadi sangat
penting.
Lebih-lebih di tahun-tahun
mendatang. Tahun di mana bakal
terjadi perubahan besar-besaran
menyangkut pergeseran sistem
simpan dan temu-kembali, yang
semula manual (katalog, koleksi, dan
pelayanan berbasis atom/kertas)
berubah menjadi digital, otomasi—
berbasis image, byte, sistem
komputer — library 2.0.
***
Library 2.0 (perpustakaan generasi
kedua) mensyaratkan adanya
pustakawan yang gaul, trendi,
sekaligus ahli. Gaul mempunyai
pengertian bahwa seorang
pustakawan harus lincah
berinteraksi dan berkomunikasi tidak
saja dengan pemustaka tapi juga
pihak-pihak yang berkepentingan,
berkaitan, dan berurusan dengan
perpustakaan. Atau lebih tepat
disebut sebagai pihak yang berkaitan
dengan kampanye peningkatan
budaya baca. Misalnya jurnalis,
penerbit, toko buku, penulis, klub
(pembaca) buku, komunitas literasi,
dan media massa. Baik cetak
maupun elektronik.
Ia mampu memposisikan diri
sebagai jembatan atau penghubung
atas berbagai macam bentuk
kepentingan antar stakeholders dan
shareholders budaya baca. Karena
yang sudah-sudah, misalnya
penerbit ketika ingin masuk ke
perpustakaan, taruhlah
perpustakaan daerah (kabupaten/
kota) dengan menawarkan program
pameran buku kerap menghadapi
kesulitan karena tidak ada orang
perpustakaan yang berani “pasang
badan”. Padahal dalam acara
pameran buku itu diadakan pula
acara pengiring, seperti bedah buku,
jumpa penulis, hingga pelatihan
menulis.
Namun karena respon yang
diharapkan muncul dari
perpustakaan tidak sebesar harapan
penerbit, acara yang ditawarkan
tersebut menemui kegagalan.
Selama ini kegagalan penawaran
bentuk kerjasama itu biasaanya
karena persoalan dana, dan
keterbatasan sumber daya manusia.
Padahal kalau mau ditelisik lebih
jauh, yang demikian bukanlah
sebab, tapi akibat. Akibat dari sikap
tertutup dan tidak percaya diri
terhadap tawaran kerjasama yang
diulurkan dari pihak luar/penerbit.
Maka kebutuhan seorang
pustakawan yang gaul dan
mempunyai sikap hidup dan pola
pikir yang terbuka menjadi penting.
Ia akan terus berupaya menambah
jejaring, sehingga perpustakaan bisa
benar-benar hidup, dan semakin
dicintai oleh publik pengguna atau
masyarakat pemustaka.
Sikap gaul ini juga bisa
memunculkan ikatan emosional
yang kuat antara pengunjung
dengan pustakawan. Sehingga
segala bentuk sikap dan gaya
pustakawan berada dalam satu
tarikan nafas dengan upaya untuk
memasarkan perpustakaan tempat
ia bekerja.
Gaul ini juga menyangkut
pemanfaatan teknologi. Apalagi di
jaman ini, di mana internet semakin
tumbuh dan berkembang.
Pustakawan harus menjadi orang
pertama yang tercerahkan melalui
yang ia baca. Pustakawan harus
memiliki akun sendiri di situs
jejaring sosial, menjadi bagian dari
” jamaah facebookiyah”, mejeng di
friendster, juga jika memiliki video
yang bagus, tentu yang berkaitan
dengan program budaya baca bisa
ia unggah ke youtube.
Di situs jejaring sosial tersebut
pustawakan bisa berkomunikasi
dengan pemustaka secara pribadi,
tanpa harus disertai dengan
perasaan pekewuh (sungkan)
layaknya saat bertemu di kantor. Di
situlah seorang pustakawan bisa
melampiaskan ”bakat narsis”nya.
Gaul melalui situs jejaring sosial,
bisa digunakan pustakawan untuk
menginformasikan buku-buku
terbaru koleksi perpustakaan, jadwal
acara perbukuan, hingga menjadi
cara ia ”mengedukasi” publik untuk
misalnya bagaimana melakukan
katalogisasi buku, baik secara
manual maupun elektronik
(otomasi). Termasuk misalnya
menjadi konsultan bagi keluarga
atau pribadi yang ingin mendirikan
perpustakaan keluarga, dan taman
baca.
Selain aktif di situs jejaring sosial,
seorang pustakawan 2.0 wajib
hukumnya memiliki website pribadi,
minimal blog. Di situ bisa menjadi
ajang bagi pustakawan untuk
menuliskan catatan-catatan (tidak)
penting berkaitan dengan
pekerjaannya maupun pengalaman
keseharian. Lebih baik lagi jika diisi
dengan tulisan atau content yang
spesifik. Blog dan website bisa
menjadi bukti transformasi diri yang
terjadi pada diri pustakawan, dari
yang sebelumnya hanya seorang
pembaca, bergeser menjadi
seorang penulis. Meskipun baru
menjadi penulis blog. Menulis di
blog juga menjadi cara paling baik
untuk menerapkan doktrin
manajemen modern: tulis apa Anda
dikerjakan, kerjakan apa yang Anda
tulis!
***
Pengertian trendi dalam makna
yang paling dasar adalah
menyangkut penampilan dan cara
berpakaian. Selama ini pustakawan
memakai seragam atau uniform
yang sama, yaitu lazimnya seragam
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sehingga
terlihat sangat resmi, menjadikan
kesan birokratisnya menjadi sangat
kental. Seorang pustakawan di
tahun-tahun semua serba ”cair”
hendaknya menggunakan
” seragam” yang tidak formal. Kalau
tidak selama sepekan penuh,
minimal seminggu sekali. Taruhlah
tiap hari sabtu.
Bentuk tampilan trendi itu misalnya
dengan memakai kaos yang
bertulisankan kata-kata penuh
motivasi yang berkaitan dengan
ajakan untuk membaca. Tidak lupa
menyematkan pin budaya baca pula
di kaos dan topi. Kalau biasanya
memakai celana kain, bisa jug
memakai celana jeans. Kesan trendi
ini akan mempersempit jarak antara
pustakawan, yang pada akhirnya
perpustakaan sebagai institusi
dengan pengunjung. Terutama
mereka anak-anak muda.
Secara tidak langsung cara demikian
juga memberikan pengertian kepada
anak-anak muda, ternyata cinta
buku tetap masih bisa
berpenampilan modis. Apalagi
sekarang era budaya pop yang
sangat luber dengan ikon-ikon
produk massa seperti kaos, topi, pin
dan aksesoris lainnya. Itu semua
bisa dipinjam ”bentuk, wujud atau
wadahnya” (context) untuk
kemudian ”isinya” (content) diubah
dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan upaya
mempopulerkan perpustakaan
(ajakan membaca).
Penindihan ikon budaya pop untuk
kampanye budaya baca (dan
menulis) juga bisa digunakan
sebagai pintu masuk untuk
melancarkan program kampanye
keberaksaraan fungsional. Contoh
sederhana bagi pengunjung,
khususnya anak-anak muda yang
sudah memiliki usaha pembuatan
kaos atau merchandiser atau yang
baru akan memulai bisa
menggunakan tema ”buku dan
budaya baca” sebagai salah satu
varian tema produk.
Buku dan aktivitas membaca
merupakan produk unggulan, tentu
saja cara-cara penawaran yang
dipilih pun mestinya dengan cara-
cara yang unggul pula Ini penting
karena, kesan yang muncul di
sebagian besar anak-anak muda,
khususnya para remaja,
perpustakaan, buku, identik dengan
kacamata tebal, tidak keren, tidak
gaul, tidak punya teman, terlalu
serius, dan tidak fun
(menyenangkan).
Dengan perubahan uniform para
pustakawan tersebut, apalagi disertai
pula dengan perubahan sikap atau
attitude, para pengunjung akan
semakin tertarik untuk mengenal
perpustakaan.
***
Tentu saja sikap dan cara
membawa diri (gaul dan trendi)
harus diletakkan pada dasar
penguasaan keterampilan atau
keahlian tertentu. Seorang
pustakawan harus mempunyai
keahlian yang spesifik (expert), dan
bisa mengomunikasikan keahlian
yang dimiliki tersebut. Misalnya ada
pustakawan yang sangat expert
tentang rak buku. Mulai dari model
atau pola, pilihan bahan,
penempatan, hingga anggaran yang
dibutuhkan. Nah dari keahliannya
tersebut, bisa ia gunakan untuk
menjalin relasi lebih akrab dengan
pengunjung, baik pribadi atau pun
mewakili institusi, yang hendak
membuat rak buku/setup
perpustakaan.
Keahlian yang spesifik yang dimiliki
seorang pustakawan akan
memudahkan perpustakaan dalam
membuat varian program layanan.
Salah satunya bisa dibuat klub buku
yang didasarkan pada minat-minat
tertentu. Misalnya ada pustakawan
yang ahli di bidang teknologi
informasi. Melingkupi perangkat
lunak (software) dan perangkat
keras (hardware). Sehingga ia bisa
menjadi tempat acuan bagi
pengunjung yang mempunyai
masalah dengan komputer dan
jaringan internet. Ia menjadi
penggerak utama pembentukan
klub komputer. Di setiap pertemuan
bisa digunakan untuk membedah
buku terbaru tentang komputer,
saling berbagai tips aplikasi,
termasuk pembicaraan yang
mengarah kepada bisnis, dan
sebagainya.
Selain itu, diperlukan pula
pustakawan yang pintar menulis,
dan tulisannya telah banyak
dipublikasikan media dan penerbit.
Keahlian khusus yang menjadi
merk/brand untuk masing-masing
pustakawan tersebut dapat menjadi
magnet tambahan buat
perpustakaan selain buku dan
koleksi lainnya. Sehingga ada ikatan
emosional-fungsional yang kuat
antara pustakawan dengan
pemustaka.
Pustakawan yang mahir menulis
bisa menggagas klub menulis. Klub
tersebut diikuti oleh pemustaka yang
tertarik dan berniat belajar menulis.
Yang memfasilitasi sekaligus jadi
mentor adalah pustakawan yang
pandai menulis. Jika tidak pandai,
minimal ia mempunyai jejaring ke
penulis mapan. Sehingga penulis
mapan tersebut bisa dihadirkan di
forum klub menulis.
Selain klub menulis bisa saja
misalnya menelurkan program
Klinik Baca Tulis (KBT). Program ini
merupakan peniruan persis atas
Posyandu atau Poliklinik yang
memberikan pelayanan kesehatan
fisik kepada masyarakat luas. Hanya
saja, karena KBT, tentu
pelayanannya tidak ditujukan kepada
masalah fisik (sakit), tapi sakit yang
berupa problem-problem membaca
dan menulis yang mungkin, melilit
mereka. Pasiennya adalah mereka
yang ingin belajar membaca dan
menulis, sedangkan dokternya
adalah para penulis. Pelayanan
diberikan secara cuma-cuma alias
gratis.
Tujuan utama penggagasan KBT,
pertama, adalah untuk
mengoptimalkan peranan
perpustakaan sebagai penggerak
utama (prime mover) menuju
masyarakat berkesadaran membaca
dan menulis. Sebagai salah satu
kegiatan yang dapat membawa
masyarakat pada pencapaian
peradaban yang tinggi. Kedua, ingin
menampung keluhan dan
semacamnya berkaitan dengan
buku, membaca, dan menulis.
KBT bersedia menjadi keranjang
sampah atau wadah apapun yang
bermanfaat bagi masyarakat yang
ingin meningkatkan kemampuan
membaca dan menulisnya. Karena
sungguh tidak mudah seseorang
yang ingin bertanya soal buku yang
baik dan menarik, dan juga soal
kegiatan membaca dan menulis
yang menyenangkan, menemukan
orang yang tepat untuk melayani
keinginan bertanya itu.
Ketiga, KBT ingin membuat dan
melontarkan isu ke tengah
masyarakat tentang pentingnya
membaca dan menulis (buku).
Merangsang tumbuhnya potensi
membaca dan menulis di tengah
masyarakat luas. Klinik ini mencoba
memangkas kendala-kendala yang
mengerangkeng seseorang untuk
memunculkan potensi membaca
dan menulis.
Konsepsi dan tujuan KBT di atas
sebagian besar merupakan
penulisan ulang, dengan sedikit
modifikasi, atas rumusan Hernowo
yang tertulis dalam buku Main-Main
dengan Teks Sembari Mengasah
Potensi Kecerdasan Emosi (Kaifa,
2004).
Poin pentingnya, keahlian tersebut
bukan malah membuat seorang
pustakawan menjadi ”tidak
tersentuh” tapi justru dengan
keahlian khusus yang ia miliki itu
bisa menjadi alat untuk sok kenal
sok dekat dengan para pemustaka.
Sampai di sini, muncul kesadaran
baru: perpustakaan sebagai institusi
garda terdepan penggerak
kampanye budaya baca dan tulis
harus mencari formulasi yang tepat
untuk ”menjual” kompetensi yang
tiap-tiap pustakawan miliki.
Maka dari itu, syarat pengangkatan
seorang pustakawan haruslah
disertai dengan prasyarat
kompetensi dasar atau keahlian
khusus yang dikuasi. Kalau belum
ahli, perpustakaan harus
menciptakan mekanisme yang
sifatnya built in (misalnya melalui
kebijakan sertifikasi pustakawan)
agar para pustakawan yang
mempunyai minat di bidang-bidang
tertentu itu bisa punya kesempatan
belajar lagi untuk semakin
mengasah kompetensinya.
Seorang pustakawan generasi kedua
juga harus mempunyai jiwa
kewirausahaan. Yaitu kemampuan
kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat dan sumberdaya untuk
mencari peluang menuju sukses
institusi. Kreatifitas adalah
kemampuan mengembangkan ide
dan cara-cara baru dalam
memecahkan masalah dan
menemukan peluang. Inovasi
adalah kemampuan menerapkan
kreativitas dalam rangka
memecahkan masalah dan
menemukan peluang.
Menurut Purbayu Budi Santosa
(2004) performa kreatif dan inovatif
hanya dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki jiwa, sikap dan
perilaku kewirausahaan, dengan ciri-
ciri: Pertama, penuh percaya diri,
indikatornya penuh keyakinan,
optimis, berkomitmen, disiplin
bertanggungjawab. Kedua, memiliki
inisiatif, indikatornya adalah penuh
energi, cekatan dalam bertindak dan
aktif. Ketiga, memiliki motif
berprestasi, indikatornya terdiri atas
orientasi pada hasil dan wawasan ke
depan. Keempat memiliki jiwa
kepemimpinan, indikatornya adalah
berani tampil beda, dapat dipercaya,
dan tangguh dalam bertindak. Dan
yang kelima, berani mengambil
resiko dengan penuh perhitungan,
oleh karena itu menyukai tantangan.
Saat meluncurkan Toko Buku
Gramedia di Grand Indonesia,
Jakarta (19/12/2008), Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan
bahwa bangsa yang maju pasti
memiliki masyarakat yang maju
pula. Masyarakat yang maju
ditopang oleh masyarakat yang
gemar membaca buku. Reading
society menjadi prasyarat utama
menuju advance society. Salah satu
sarana penting membentuk reading
society adalah perpustakaan.
Kaitannya dengan pernyataan
Presiden SBY tersebut dalam
bayangan saya, andai tiap
pustakawan terutama mereka yang
bertugas di perpustakaan milik
pemerintah mempunyai kompetensi
sikap dan skill berupa gaul, trendi,
ahli, sekaligus memiliki jiwa
kewirausahaan, maka tujuan besar:
advance society akan benar-benar
segera terwujud.
***
Gaul, trendi, ahli. Tiga lema itu pula
yang menjadi salah satu isi dari
buku The Art of Library ini. Sejauh
amatan saya, harus diakui jumlah
literatur atau bacaan yang memuat
perkembangan dunia literasi
(keberaksaraan), khususnya tentang
perpustakaan masih sangat sedikit.
Dari yang sedikit itu pun, sebagian
besar ditulis oleh orang yang justru
tidak berkecimpung secara intens
dan langsung di dunia pusdokinfo
(kepustakawanan).
Nah, pada titik itulah, kehadiran buku
ini menjadi penting. Tidak saja
menambah jumlah bacaan yang
masih sedikit itu, tapi lantaran ditulis
oleh sosok yang telah bertahun-
tahun bergelut di bidang arsip,
dokumentasi, dan perpustakaan.
Karena ditulis oleh seorang praktisi,
tentu saja ide dan inspirasi yang
muncul di buku ini bersumber dari
pengalaman di lapangan. Oleh
karenanya, tawaran-tawaran
perbaikan dan wacana yang
digulirkan pun sangat realistis.
Selain berbicara tentang kualifikasi
yang harus dimiliki seorang
pustakawan, serta perkembangan
dunia baca tulis kaitannya dengan
keberadaan perpustakaan, secara
khusus, Endang Fatmawati, penulis
buku ini, menyoroti perkembangan
praksis pengelolaan perpustakaan di
perguruan tinggi. Yang demikian
wajar, mengingat sosok
pustakawan berprestasi nasional ini
dalam kesehariannya bekerja di
perpustakaan perguruan tinggi
(Fakultas Ekonomi, Universitas
Diponegoro, Semarang).
Pendek kata ini, buku ini merupakan
sebuah buku referensi penting dunia
literasi yang patut dibaca dan
dikoleksi. Buku referensi yang
memberikan pijakan pengetahuan
(kognisi), afeksi, dan simulasi seni
mengelola library.
Judul Buku: The Art of Library–Ikatan
Esai Bergizi tentang Seni Mengelola
Perpustakaan
Penulis: Endang Fatmawati, S.S.,
S.Sos., M.Si (Pustakawan Perguruan
Tinggi Berprestasi II (DIKTI) 2009
Kata Pengantar: Harkrisyati Kamil
(Presiden Ikatan Sarjana Ilmu
Perpustakaan dan Informasi
Indonesia – ISIPII)
Penerbit: BP UNDIP, Semarang
Tebal Buku: xxii + 315 Halaman
Cetakan Pertama: November 2010

No comments:

Post a Comment

like