Monday, December 20, 2010

Masalah Klasik Profesi Pustakawan : Catatan dari Rakerpus XVI 2010

Bicara
tentang
masalah
di
bidang
perpustakaan
di
Indonesia
terlihat
sangat
banyak,
dari
masalah
adanya
organisasi-
organisasi
perpustakaan yang sudah di danai
besar tapi bekerjanya sangat buruk
sampai kepada masalah-masalah
yang lain misalnya minim anggaran,
penggunaan anggaran perpustakaan
yang asal dan tidak tepat sasaran,
banyaknya SDM pustakawan yang
rendah, banyaknya ahli-ahli bidang
perpustakaan yang lebih suka
berkoar-koar tentang teori tapi
minim aksi dan masih banyak lagi
masalah yang lain. Tapi melihat
berjuta masalah tersebut
pustakawan dan orang-orang yang
merasa peduli untuk terus
memajukan perpustakaan di
Indonesia tidak boleh putus asa dan
berhenti. Masalah-masalah yang ada
tersebut harus terus kita upayakan
dan kita pecahkan secara bersama-
sama tentunya dengan aksi nyata
dan tidak hanya sebatas teori
semata. Berikut ini merupakan salah
satu artikel terkait masalah klasik di
profesi pustakawan yang ditulis oleh
Dra Ahyati Rahayu, Kepala
Perpustakaan Unissula, Semarang
yang dikutip langsung dari
SuaraMerdeka.com
BUKU adalah jendela dunia, kuasai
dunia dengan membaca, atau tiada
hari tanpa membaca, merupakan
sebagian dari slogan yang
digunakan perpustakaan. Itu untuk
memerankan diri sebagai salah satu
lembaga yang berperan dalam
perkembangan dan kemajuan
pendidikan.
Namun sebagai bagian dari
instrumen pendidikan yang juga
bertanggung jawab secara
kelembagaan dan moral dalam
mencerdaskan bangsa, sampai hari
ini tampaknya perpustakaan beserta
tenaga pelaksana, yakni
pustakawan, belumlah populer.
Masih ada masalah klasik yang jadi
bahan perbincangan di kalangan
pustakawan dari waktu ke waktu,
yakn profesi pustakawan selalu
berkesan kalah dari profesi lain,
seperti dokter, hakim, dan dosen.
Perpustakaan masih dipandang
hanya sebagai tempat menyimpan
buku yang sewaktu-waktu boleh
dipinjam. Pustakawan pun masih
berada dalam kondisi belum
proaktif. Itu, misalnya, tercermin
dari kalimat, “Ada pengunjung
syukur, tidak ada pengunjung ya
nganggur….”
Apalagi dalam praktik, banyak
sumber daya manusia atau
karyawan di lembaga pendidikan
yang dianggap kurang berprestasi,
dimutasikan ke perpustakaan. Atau
terkadang sebelum menjalani masa
pensiun, seseorang ditempatkan di
perpustakaan.
Karena itu, tantangan bagi
perpustakaan sekarang ini adalah
melakukan sinergi dengan lembaga
lain untuk memerankan fungsi
perpustakaan secara maksimal.
Berkait dengan hal itu, dalam
Keputusan Menpan Nomor 18
Tahun1988 tentang Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka
Kreditnya, yang disempurnakan
dengan Keputusan Menpan Nomor
132/KEP/M.PAN/12/2002, diikuti
Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Daerah Kabupaten/Kota,
dinyatakan perpustakaan adalah
urusan yang “wajib”, tidak boleh
diabaikan.
Dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dilanjutkan
dengan PP Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional
Pendidikan, Undang-undang Nomor
43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan, secara tegas
dinyatakan berlaku universal bahwa
perpustakaan dikehendaki sebagai
“institusi pengelola koleksi, karya
tulis, karya cetak, dan /atau karya
rekam secara profesional dengan
sistem yang baku untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi
para pemustaka”.
Pemberdayaan Dengan berbagai
peraturan itu, seharusnya
perpustakaan dapat berperan aktif
untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan kompetensi tenaga
perpustakaan yang andal pula.
Dalam Undang-undang Nomor 43
Tahun 2007 disebutkan
“Pustakawan yaitu seseorang yang
memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan dan/atau
pelatihan kepustakawanan serta
mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk melaksanakan
pengelolaan dan pelayanan
perpustakaan”.
Dari Rakerpus XVI dan Seminar
Ilmiah Nasional di Mataram, Nusa
Tenggara Barat, 8-10 November
lalu, saya mencatat beberapa poin
penting. Misalnya, Deputi Bidang
Pengembangan Sumber Daya
Perpustakaan Perpustakaan
Nasional/Ketua Umum PP Ikatan
Pustakawan Indonesia, Supriyanto,
menyebutkan perkembangan
teknologi dan informasi saat ini
membuat pustakawan dituntut
memiliki keahlian khusus.
Perlu komitmen lewat kompetensi
yang tinggi, mampu menjaring,
menyaring, mengakses,
mengeksplorasi, mengklarifikasi,
mengkaji informasi, dan meneliti,
yang bermuara pada upaya
mempermudah “temu kembali”
informasi yang diperlukan dan
memenuhi harapan pemakai.
Bahkan pustakawan mampu
membangun dan mengembangkan
masyarakat cerdas dalam peran dan
fungsi perpustakaan dan
memajukan profesinya,
meningkatkan kompetensi, karier,
dan wawasan kepustakawanan.
Berdasar hal itu, tak pada tempatnya
profesi pustakawan dipandang
sekadar sampingan atau “buangan”.
Sebab, pustakawan membangun
kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan dan pelatihan
kepustakawanan serta mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pengelolaan dan
pelayanan perpustakaan.
Jadi ada nilai tugas yang mulia
karena mengemban tanggung
jawab untuk memberikan pelayanan
ke pemustaka, mengembangkan
minat baca, serta memberdayakan
koleksi perpustakaan.

No comments:

Post a Comment

like