Wednesday, January 19, 2011

Tafsir Depag RI :QS 001 - AlFaatihah 6

Tafsir Depag RI : QS 001 - Al
Faatihah 6
اَنِدْها َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
"Ihdi": Pimpinlah,
tunjukilah, berilah
hidayah
Arti "hidayah" ialah:
Menunjukkan sesuatu
jalan atau cara
menyampaikan orang
kepada orang yang
ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah
petunjuk)
Allah telah memberi
manusia bermacam-
macam hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri
(garizah)
Manusia begitu juga
binatang-binatang,
dilengkapi oleh Allah
dengan bermacam-
macam sifat, yang
timbulnya bukanlah dari
pelajaran, bukan pula
dari pengalaman,
melainkan telah
dibawanya dari
kandungan ibunya. Sifat-
sifat ini namanya
"naluri", dalam bahasa
Arab disebut "garizah".
Umpamanya, naluri "ingin
memelihara
diri" (mempertahankan
hidup). Kelihatan oleh
kita seorang bayi bila
merasa lapar dia
menangis. Sesudah
terasa di bibirnya mata
susu ibunya,
dihisapnyalah sampai
hilang laparnya.
Perbuatan ini
dikerjakannya tak
seorang juga yang
mengajarkan
kepadanya, bukan pula
timbul dari
pengalamannya,
hanyalah semata-mata
ilham dan petunjuk dari
Allah kepadanya untuk
mempertahankan
hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita
lebah membuat
sarangnya, laba-laba
membuat jaringnya,
semut membuat
lobangnya dan
menimbun makanan
dalam lubang itu. Semua
itu dikerjakan oleh
binatang-binatang
tersebut ialah untuk
mempertahankan
hidupnya dan
memelihara dirinya
masing-masing dengan
dorongan nalurinya
semata-mata.
Banyak lagi naluri yang
lain, umpamanya garizah
ingin tahu, ingin
mempunyai, ingin
berlomba-lomba, ingin
bermain, ingin meniru,
takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu
sebagai disebutkan
terdapat pada manusia
dan binatang, hanya
perbedaannya ialah
garizah manusia bisa
menerima pendidikan
dan perbaikan, tetapi
garizah binatang tidak,
sebab itulah manusia
bisa maju tetapi
binatang tidak, hanya
tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah itu
adalah dasar bagi
kebaikan sebagaimana
dia pun juga dasar bagi
kejahatan. Umpamanya
karena garizah ingin
memelihara diri, orang
berusaha, berniaga,
bertani, artinya mencari
nafkah secara halal.
Tetapi karena garizah
"ingin memelihara diri"
itu pulalah orang
mencuri, menipu,
merampok dan lain-lain.
Karena garizah "ingin
tahu" pulalah orang suka
mencari-cari aib dan
rahasia sesamanya,
yang mengakibatkan
permusuhan dan
persengketaan.
Demikianlah seterusnya
dengan garizah-garizah
yang lain.
Garizah-garizah itu tidak
dapat dihilangkan dan
tidak ada faedahnya
membunuhnya. Ada ahli
pikir dan pendidik yang
hendak memadamkan
garizah karena melihat
seginya yang tidak baik
(jahat) itu, sebab itu
diadakan oleh mereka
macam-macam
peraturan untuk
mengikat kemerdekaan
anak-anak supaya
garizah itu jangan
tumbuh, atau mana yang
telah tumbuh menjadi
mati. Tetapi perbuatan
mereka itu besar
bahayanya terhadap
pertumbuhan akal,
tubuh dan akhlak anak-
anak. Dan bagaimanapun
orang berusaha hendak
membunuh garizah itu,
namun ia tidak akan
mati.
Boleh jadi karena
kerasnya tekanan dan
kuatnya rintangan
terhadap sesuatu
garizah, maka kelihatan
dia telah padam tetapi
manakala ada yang
membangkitkannya,
timbullah dia kembali.
Oleh karena itu
kendatipun garizah itu
dasar bagi kebaikan,
sebagaimana dia juga
dasar bagi kejahatan,
tetapi kewajiban
manusia bukanlah
menghilangkannya,
hanya mendidik dan
melatihnya, supaya
dapat dimanfaatkan dan
disalurkan ke arah yang
baik.
Allah telah
menganugerahkan
kepada manusia
bermacam-macam
garizah untuk jadi
hidayah (petunjuk) yang
akan dipakai dengan
cara bijaksana oleh
manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu
sifatnya belum pasti
sebagai disebutkan di
atas, maka ia belum
cukup untuk jadi
hidayah bagi
kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di
akhirat. Sebab itu oleh
Allah swt. manusia
dilengkapi lagi dengan
pancaindra. Pancaindra
itu sangat besar
harganya terhadap
pertumbuhan akal dan
pikiran manusia, sebab
itu ahli-ahli pendidikan
berkata:
ساوحلا باوبأ ةفرعملا
Artinya:
Pancaindra itu adalah
pintu-pintu
pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan
jalan pancaindra itulah
manusia dapat
berhubungan dengan
alam yang di luar,
dengan arti bahwa
sampainya sesuatu dari
alam yang di luar ini ke
dalam otak manusia
adalah pintu-pintu
pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah
dengan pancaindra, juga
belum cukup lagi untuk
jadi pokok-pokok
kebahagiaan manusia.
Banyak lagi benda-
benda dalam alam ini
yang tidak dapat dilihat
oleh mata. Banyak
macam suara yang tidak
dapat didengar oleh
telinga. Malah selain dari
alam mahsusat (yang
dapat ditangkap oleh
pancaindra), ada lagi
alam ma'qulat (yang
hanya dapat ditangkap
oleh akal).
Selain dari pancaindra
itu hanya dapat
menangkap alam
mahsusat,
tangkapannya tentang
yang mahsusat itupun
tidak selamanya betul,
kadang-kadang salah.
Inilah yang dinamakan
dalam ilmu jiwa "illusi
optik" (tiupan
pandangan), dalam
bahasa Arab disebut,
"khida'an nazar". Sebab
itu manusia
membutuhkan lagi
hidayah yang kedua itu.
Maka dianugerahkan lagi
oleh Allah hidayah yang
ketiga, yaitu "hidayah
akal".
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar
kesanggupannya
Dengan adanya akal itu
dapatlah manusia
menyalurkan garizah ke
arah yang baik agar
garizah itu menjadi
pokok bagi kebaikan,
dan dapatlah manusia
membetulkan
kesalahan-kesalahan
pancaindranya,
membedakan buruk
dengan baik. Malah
sangguplah dia
menyusun mukadimah
untuk
menyampaikannya
kepada natijah,
mempertalikan akibat
dengan sebab, memakai
yang mahsusat sebagai
tangga kepada yang
ma'qulat,
mempergunakan yang
dapat dilihat, diraba dan
dirasai untuk
menyampaikannya
kepada yang abstrak,
maknawi dan gaib,
mengambil dalil dari
adanya makhluk untuk
adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga
belum lagi memadai
untuk membawanya
kepada kebahagiaan
hidup di dunia dan di
akhirat di samping
berbagai macam garizah
dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal
itu bermacam-macam,
yang baik menurut
pikiran si A belum tentu
baik menurut pandangan
si B, malah banyak
manusia yang masih
mempergunakan
akalnya, atau akalnya
dikalahkan oleh hawa
nafsu dan sentimennya.
Hingga yang buruk itu
menjadi baik dalam
pandangannya dan yang
baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian
nyatalah bahwa garizah
ditambah dengan
pancaindra ditambah
pula dengan akal belum
lagi cukup untuk menjadi
hidayah yang akan
menyampaikan manusia
kepada kebahagiaan
hidup jasmani dan
rohani, di dunia dan
akhirat.
Oleh karena itu manusia
membutuhkan suatu
hidayah lagi, di samping
pancaindra dan akalnya
itu, yaitu hidayah agama
yang dibawa oleh para
rasul `alaihimus shalatu
wassalam.
b. Bibit agama dan
akidah tauhid pada jiwa
manusia
Dalam pada itu kalau
diperhatikan agama-
agama dan
kepercayaan-
kepercayaan yang
diciptakan oleh manusia
(Al-Adyan Al-Wad'iyyah)
kelihatan pada jiwa
manusia telah ada bibit-
bibit suka beragama.
Yang demikian itu
karena manusia itu
mempunyai sifat merasa
berhutang budi suka
berterima kasih dan
membalas budi kepada
orang yang berbuat baik
kepadanya. Maka di kala
diperhatikan dirinya dan
alam yang di
sekelilingnya,
umpamanya roti yang
dimakannya, tumbuh-
tumbuhan yang
ditanamnya, binatang
ternak yang
digembalakannya,
matahari yang
memancarkan sinarnya,
hujan yang turun dari
langit yang
menumbuhkan tanam-
tanaman, akan merasa
berutang budilah dia
kepada "suatu Zat" yang
gaib yang telah berbuat
baik dan melimpahkan
nikmat yang besar itu
kepadanya.
Didapatnyalah dengan
akalnya bahwa Zat yang
gaib itulah yang
menciptakannya, yang
menganugerahkan
kepadanya dan kepada
jenis manusia
seluruhnya, segala
sesuatu yang ada di
alam ini, segala sesuatu
yang dibutuhkannya
untuk memelihara diri
dan mempertahankan
hidupnya.
Karena dia merasa
berutang budi kepada
suatu Zat Yang Gaib itu,
maka dipikirkannyalah
bagaimana cara
berterima kasih dan
membalas budi itu, atau
dengan perkataan lain
bagaimana cara
"menyembah Zat Yang
Gaib itu".
Akan tetapi masalah
bagaimana cara
menyembah Zat Yang
Gaib itu, adalah suatu
masalah yang sukar,
yang tidak dapat dicapai
oleh akal manusia. Sebab
itu di dalam sejarah
kelihatan bahwa tidak
pernah adanya
keseragaman dalam hal
ini. Bahkan akal
pikirannya akan
membawanya kepada
kepercayaan
membesarkan alam di
samping membesarkan
Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih
bersahaja dan karena
belum dapat dia
menggambarkan di
otaknya bagaimana
menyembah "Zat Yang
Gaib", maka dipilihlah di
antara alam ini sesuatu
yang besar, atau yang
indah, atau yang banyak
manfaatnya, atau
sesuatu yang
ditakutinya untuk jadi
pelambang bagi Zat Yang
Gaib itu.
Pernah dia mengagumi
matahari, bulan dan
bintang-bintang, atau
sungai-sungai, binatang
dan lain-lain, maka
disembahnyalah benda-
benda itu, sebagai
lambang bagi
menyembah Tuhan atau
Zat Yang Gaib itu, dan
diciptakannyalah cara-
cara beribadah
(menyembah) benda-
benda itu.
Dengan ini timbullah pula
suatu macam
kepercayaan, yang
dinamakan
"Kepercayaan
menyembah kekuatan
alam", sebagai yang
terdapat di Mesir,
Kaldania, Babilonia,
Assyiria dan di tempat-
tempat lain di zaman
purbakala.
Dengan keterangan itu
kelihatanlah bahwa
manusia menurut
fitrahnya suka
beragama, suka
memikirkan dari mana
datangnya alam ini, dan
ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari
mana datangnya alam
ini, akan sampailah dia
pada keyakinan tentang
adanya Tuhan, bahkan
akan sampailah dia
kepada keyakinan
tentang keesaan Tuhan
itu (tauhid), karena
akidah (keyakinan)
tentang keesaan inilah
yang lebih mudah, dan
lebih lekas dipahami oleh
akal manusia. Karena itu
dapatlah kita tegaskan
bahwa manusia itu
menurut nalurinya
adalah beragama tauhid.
Sejarah telah
menerangkan bahwa
bangsa Kaldania pada
mulanya adalah
beragama tauhid,
barulah kemudian
mereka menyembah
matahari, planet- planet
dan bintang-bintang
yang mereka simbolkan
dengan patung-patung.
Sesudah Raja Namruz
meninggal, mereka pun
mendewakan dan
menyembah Namruz itu.
Bangsa Assyiria pun
pada asalnya beragama
tauhid, kemudian
mereka telah lupa
kepada akidah tauhid itu
dan mereka
persekutukanlah Tuhan
dengan binatang-
binatang, dan inilah yang
dipusakai oleh orang-
orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir,
maka bila diperhatikan
nyanyian-nyanyian yang
mereka nyanyikan dalam
upacara-upacara
peribadatan, jelaslah
bahwa bukan seluruh
bangsa Mesir purbakala
itu orang-orang musyrik
dan wasani, melainkan di
antara mereka juga ada
orang-orang
muwahhidin, penganut
akidah tauhid. Di dalam
nyanyian-nyanyian itu
terdapat ungkapan
berikut:
"Dialah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tiada
sekutu bagi-Nya"
"Dia mencintai seluruh
makhluk, sedang dia
sendiri tak ada yang
menciptakan-Nya"
"Dialah Tuhan Yang
Maha Agung, Pemilik
langit dan bumi dan
pencipta seluruh
makhluk"
Umat manusia yang
dengan akalnya itu telah
sampai kepada akidah
tauhid. Akidah tauhid ini
sering menjadi kabur,
atau tidak murni lagi, dan
jadilah
mempersekutukan
Tuhan yang menonjol di
antara mereka. Biar pun
pendeta-pendeta
mereka masih tetap
dalam ketauhidannya,
akan tetapi pendeta-
pendeta ini kadang-
kadang takut atau
segan untuk
memberantas
kepercayaan
mempersekutukan
Tuhan itu, bahkan ikut
hanyut dalam arus
masyarakat, yakni arus
mempersekutukan
Tuhan.
Dapat ditegaskan
bahwa akidah tauhid ini
tidak pernah lenyap
sama sekali, melainkan
kepercayaan kepada
adanya suatu Zat Yang
Maha Esa itu tetap ada.
Dialah Pencipta seluruh
yang ada ini. Tuhan-
tuhan atau dewa-dewa
yang lain itu mereka
anggap hanyalah
sebagai pembantu dan
pelayan atau simbol
Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab
sebelum Islam tentang
Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun
sebelum datang agama
Islam, kalau ditanyakan
kepada mereka,
"Siapakah yang
menjadikan langit dan
bumi ini?" Mereka
menjawab, "Allah." Dan
kalau ditanyakan,
"Adakah Al-Lata dan Al-
Uzza itu menjadikan
sesuatu yang ada alam
ini"? Mereka menjawab,
"Tidak." Mereka sembah
dewa-dewa itu hanya
untuk mengharapkan
perantaraan dan
syafaat dari mereka
terhadap Tuhan yang
sebenarnya. Allah swt.
berfirman menceritakan
perkataan musyrikin
Arab itu:
اَم ْمُهُدُبْعَن
اَّلِإ
اَنوُبِّرَقُيِل
ىَلِإ ِهَّللا
ىَفْلُز
Artinya:
Kami tidak menyembah
mereka melainkan
supaya mereka
mendekatkan
(kedudukan) kami
kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya. (Q.S
Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang
akhirat bisa dicapai oleh
akal
Manakala manusia itu
memikirkan ke manakah
kembalinya alam ini,
akan sampailah dia pada
keyakinan bahwa di
balik hidup di dunia yang
fana ini akan ada lagi
hidup di hari kemudian
yang kekal dan abadi.
Tetapi dapatkah
manusia dengan akal
dan pikirannya semata-
mata mengetahui
apakah yang perlu
dikerjakan atau
dijauhinya sebagai
persiapan untuk
kebahagiaan di hari
kemudian (hari akhirat)
itu? Jawabnya tentu
saja tidak, sejarah pun
telah membuktikan hal
ini.
Dengan demikian
dapatlah disimpulkan
bahwa manusia telah
diberi Allah akal untuk
jadi hidayah baginya, di
samping garizah dan
pancaindra. Tetapi
hidayah akal itu
belumlah mencukupi
untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan
akhirat.
Begitu juga manusia
mempunyai tabiat suka
beragama, dan dengan
akalnya dia kadang-
kadang telah sampai
kepada tauhid. Akan
tetapi tauhid yang telah
dicapainya dengan
akalnya itu sering pula
menjadi kabur dan tidak
murni lagi.
Dalam pada itu manusia
dengan mempergunakan
akalnya juga dapat
sampai kepada
kesimpulan tentang
adanya akhirat, akan
tetapi hidayah akal itu
belumlah mencukupi
untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan
akhirat. Maka untuk
menyampaikan manusia
kepada akidah tauhid
yang murni, yang tidak
dicampuri sedikit juga
oleh kepercayaan-
kepercayaan
menyembah dan
membesarkan selain
Allah, dan untuk
membentangkan jalan
yang benar yang akan
ditempuhnya dalam
perjalanan mencari
kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat dan
untuk jadi pedoman bagi
hidupnya di dunia ini, dia
membutuhkan hidayah
yang lain di samping
hidayah-hidayah yang
telah disebutkan itu.
Maka didatangkanlah
oleh Allah hidayah yang
keempat yaitu "agama"
yang dibawa oleh para
rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama
ketuhanan
Karena hal-hal yang
disebutkan itu, maka
diutuslah oleh Allah
rasul-rasul untuk
membawa agama yang
akan menunjukkan
kepada manusia jalan
yang harus mereka
tempuh untuk
kebahagiaan mereka
dunia dan akhirat.
Adalah yang mula-mula
ditanamkan oleh rasul-
rasul itu kepercayaan
tentang adanya Tuhan
Yang Maha Esa dengan
segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya,
guna membersihkan
iktikad manusia dari
kotoran syirik
(mempersekutukan
Tuhan).
Rasul membawa manusia
kepada kepercayaan
tauhid itu dengan melalui
akal dan logika, yaitu
dengan mempergunakan
dalil-dalil yang tepat dan
logis. (Ingatlah kepada
soal-jawab antara Nabi
Ibrahim dengan Namruz,
Nabi Musa dengan
Firaun, dan seruan-
seruan Alquran kepada
kaum musyrikin Quraisy
agar mereka
mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan
kepada adanya Tuhan
Yang Maha Esa, rasul-
rasul juga membawa
kepercayaan tentang
akhirat dan malaikat-
malaikat.
Percayakepada adanya
Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala sifat-
sifat kesempurnaan-
Nya, serta adanya
malaikat dan hari
kemudian itu, itulah yang
dinamakan Al-Iman bil
Gaib (percaya kepada
yang gaib). Dan itulah
yang jadi pokok bagi
semua agama
Ketuhanan, dengan arti
bahwa semua agama
yang datangnya dari
Tuhan mempercayai
keesaan Tuhan, serta
malaikat dan hari
akhirat.
Di samping `aqaid
(kepercayaan-
kepercayaan) yang
disebutkan itu, rasul-
rasul juga membawa
hukum-hukum,
peraturan-peraturan,
akhlak dan pelajaran-
pelajaran.
Hukum-hukum dan
peraturan-peraturan ini
berlain-lainan, artinya
apa yang diturunkan
kepada Nabi Ibrahim
tidak sama dengan yang
diturunkan kepada Nabi
Musa, dan apa yang
dibawa oleh Nabi Isa
tidak serupa dengan
yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena
hukum-hukum dan
peraturan-peraturan itu
haruslah sesuai dengan
keadaan tempat dan
masa. Maka syariat yang
dibawa oleh nabi-nabi itu
adalah sesuai dengan
masanya masing-masing.
Jadi yang berlain-lainan
itu ialah hukum-hukum
furu` (cabang-cabang),
sedangkan pokok-pokok
hukum agama seperti
akidah adalah sama.
Berhubung Muhammad
saw. adalah seorang
nabi penutup maka
syariat yang dibawanya,
diberi oleh Tuhan sifat-
sifat tertentu agar
sesuai dengan segala
masa dan keadaan.
b. Hidayah yang
dimohonkan kepada
Tuhan
Agama Islam sebagai
hidayah dan senjata
hidup yang penghabisan,
atau jalan kebahagiaan
yang terakhir, telah
dianugerahkan Tuhan,
tetapi adakah orang
pandai mempergunakan
senjata itu, dan adakah
semua hamba Allah
sukses dalam menempuh
jalan yang dibentangkan
oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia
yang pandai
menerapkan agama,
beribadat (menyembah
Allah) sebagai yang
diridai oleh yang
disembah, bahkan
pelaksanaan syariat
tidak sesuai dengan
yang dimaksud oleh
Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari
Allah memohonkan
kepada-Nya agar diberi-
Nya ma`unah, dibimbing
dan dijaga-Nya selama-
lamanya serta diberi-
Nya taufik agar dapat
memakai semua macam
hidayah yang telah
dianugerahkan-Nya itu
menurut semestinya.
Garizah-garizah supaya
dapat disalurkan ke arah
yang baik, pancaindra
supaya berfungsi betul,
akal supaya sesuai
dengan yang benar,
tuntunan-tuntunan
agama agar dapat
dilaksanakan menurut
yang dimaksud oleh
yang menurunkan
agama itu dengan tidak
ada cacat, janggal dan
salah.
Tegasnya manusia yang
telah diberi Tuhan
bermacam-macam
hidayah yang
disebutkan di atas
(garizah-garizah,
pancaindra, akal dan
agama) belum dapat
mencukupkan semata-
mata hidayah-hidayah
itu saja, tetapi dia masih
membutuhkan ma`unah
dan bimbingan dari Allah
(yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan
bimbingan itulah yang
kita mohonkan dan
kepada Allah sajalah kita
hadapkan permohonan
itu.
Dengan perkataan lain,
Allah telah memberi kita
hidayah-hidayah
tersebut, tak ubahnya
seakan-akan Dia telah
membentangkan di muka
kita jalan raya yang
menyampaikan kepada
kebahagiaan hidup
duniawi dan ukhrawi,
maka yang dimohonkan
kepada-Nya lagi ialah
"membimbing kita dalam
menjalani jalan yang
telah terbentang itu".
Dengan ringkas hidayah
dalam ayat
"ihdinassiratal
mustaqim" ini berarti
"taufik" (bimbingan), dan
taufik itulah yang
dimohonkan di sini
kepada Allah.
Taufik ini dimohonkan
kepada Allah sesudah
kita berusaha dengan
sepenuh tenaga, pikiran
dan ikhtiar, karena
berusaha dengan
sepenuh tenaga adalah
kewajiban kita, tetapi
sampai berhasil sesuatu
usaha adalah termasuk
kekuasaan Allah. Dengan
ini kelihatanlah pertalian
ayat ini dengan ayat
yang sebelumnya. Ayat
yang sebelumnya Allah
mengajari hamba-Nya
supaya menyembah
memohonkan
pertolongan kepada-
Nya, sedangkan pada
ayat ini Allah
menerangkan apa yang
akan dimohonkan, dan
bagaimana
memohonkannya.
Maka tak ada
pertentangan antara
kedua firman Allah
tersebut dan firman
Allah yang ditujukan
kepada Nabi yang
berbunyi:
َكَّنِإَو يِدْهَتَل
ىَلِإ ٍطاَرِص
ٍميِقَتْسُم
Artinya:
Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan
yang lurus. (Q.S Asy
Syura: 52)
Dan firman-Nya:
َكَّنِإ اَل يِدْهَت
ْنَم َتْبَبْحَأ
َّنِكَلَو َهَّللا
يِدْهَي ْنَم
ُءاَشَي
Artinya:
Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat
memberi petunjuk
kepada orang yang
kamu kasihi tetapi
Allahlah yang dapat
memberi petunjuk
kepada orang yang
dikehendaki-Nya. (Q.S Al
Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud
dengan hidayah pada
ayat pertama, ialah
menunjukkan jalan yang
harus ditempuh, dan ini
memang adalah tugas
nabi. Tetapi yang
dimaksud dengan
hidayah pada ayat
kedua ialah membimbing
manusia dalam
menempuh jalan itu dan
memberikan taufik agar
sukses dan berbahagia
dalam perjalanannya,
dan ini tidaklah masuk
dalam kekuasaan Nabi,
hanya adalah hak Allah
semata-mata.
َطاَرِّصلا
َميِقَتْسُمْلا )6(
Artinya:
Jalan yang lurus (yang
menyampaikan kepada
yang dituju). (Q.S Al
Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud
dengan jalan lurus itu?
Di atas telah
diterangkan bahwa
rasul-rasul telah
membawa `aqaid
(kepercayaan-
kepercayaan) hukum-
hukum, peraturan-
peraturan, akhlak, dan
pelajaran-pelajaran.
Pendeknya telah
membawa segala
sesuatu yang perlu
untuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia
dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-
hukum, peraturan-
peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran
itulah yang dimaksud
dengan jalan lurus itu,
karena dialah yang
menyampaikan manusia
kepada kebahagiaan
hidup di dunia dan
akhirat sebagai
disebutkan.
Jadi dengan menyebut
ayat ini seakan-akan
kita memohon kepada
Tuhan: "Bimbing dan beri
taufiklah kami, ya Allah
dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama
kami. Betulkanlah
kepercayaan kami.
Bimbing dan beri
taufiklah kami dalam
melaksanakan
kepercayaan kami.
Bimbing dan beri
taufiklah kami dalam
melaksanakan hukum,
peraturan-peraturan,
serta pelajaran-
pelajaran agama kami.
Jadikanlah kami
mempunyai akhlak yang
mulia, agar berbahagia
hidup kami di dunia dan
akhirat".

No comments:

Post a Comment

like